Senin, 22 Oktober 2012

Makalah tentang perilaku menyimpang menyontek di kalangan pelajar


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Saat ini di sekolah-sekolah baik SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi telah melaksanakan ujian mid semester maupun ujian semester. Peserta ujian dalam hal ini siswa maupun mahasiswa berusaha untuk menyelesaikaan soal atau permasalahan yang telah disiapkan oleh penguji (guru maupun dosen) agar memperoleh hasil belajar sesuai dengan apa yang telah diterimanya selama melaksanakan proses pembelajaran. Suatu permasalahan klasik muncul, dimana ada peserta didik yang melakukan suatu tindakan yang dalam kehidupan sehari-hari yang sering kita namakan “menyontek”.
“Menyontek” merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari, tetapi jarang mendapat pembahasan dalam wacana pendidikan kita di Indonesia. Kurangnya pembahasan mengenai “menyontek” mungkin disebabkan karena kebanyakan pakar menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang sifatnya sepele, padahal masalah menyontek sesungguhnya merupakan sesuatu yang sangat mendasar.
Dalam konteks kehidupan bangsa saat ini, tidak jarang kita mendengar asumsi dari masyarakat yang menyatakan bahwa koruptor-koruptor besar, penipu-penipu ulung mungkin adalah penyontek-penyontek berat ketika mereka masih berada di bangku sekolah. Atau sebaliknya, mereka yang terbiasa “menyontek” di sekolah, memiliki potensi untuk menjadi koruptor, penipu, dan penjahat krah putih dalam masyarakat nanti. Mengapa para pendidik dan para peneliti begitu tertarik mempersoalkan masalah “menyontek”? Dalam menjawab pertanyaan ini paling tidak terdapat dua alasan yang mendasar yaitu:  
1.      “menyontek” jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar (damental) pendidikan;
2.      “menyontek” dalam segala bentuknya membawa resiko negatif terhadap siswa, sekolah, dan masyarakat.
Nugroho (2008) mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat tentang hasil poling yang dilakukannya atas siswa-siswi SMP di Surabaya mengenai persoalan menyontek dengan hasil yang lumayan mengejutkan. Data itu menyebutkan bahwa, jumlah penyontek langsung tanpa malu-malu kucing mencapai 89,6 persen, langsung bertanya kepada teman mencapai 46,5 persen. Sedangkan 20 persen lebih berhati-hati pakai kode dan 14,9 persen mengandalkan lirikan. Untuk jumlah responden yang lulus dari “sensor” guru, sejumlah 65,3 persen.

MASALAH
1.      Mengapa siswa suka menyontek saat ujian?
2.      Apakah yang menyebabkan mereka menyontek saat ujian berlangsung?
3.      Bagaimana cara mengantisipasi masalah siswa yang suka menyontek?

TUJUAN
1.      Untuk memberikan informasi tentang pengertian “menyontek” dan factor penyebab “menyontek”
2.      Untuk memahami “menyontek” dari tinjauan moral dan tinjauan psikologis, dan
3.      Memberikan masukan tentang cara-cara penanggulangan “menyontek” disekolah.

MANFAAT
1.      Dapat memberi masukan bagi para murid yang sering menyontek agar tidak menyontek  lagi.
2.      Dapat mengetahui alasan siswa yang suka menyontek.
3.      Dapat membuat siswa jera dan tidak akan mengulangi kebiasaannya menyontek.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Pengertian ”Menyontek”
Pengertian menyontek atau menjiplak atau ngepek menurut Purwadarminta sebagai suatu kegiatan mencontoh/ meniru/ mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Cheating (menyontek) menurut Wikipedia Encyclopedia sebagai suatu tindakan tidak jujur yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan keuntungan yang mengabaikan prinsip keadilan. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pelanggaran aturan main yang ada.
Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Pendapat Bower ini juga senada dengan Deighton (1971) yang menyatakan “Cheating is attempt an individuas makes to attain success by unfair methods.” Maksudnya, cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur.
Dalam konteks pendidikan atau sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas ataupun take home test.
Dalam perkembangan mutakhir “menyontek” dapat ditemukan dalam bentuk perjokian seperti kasus yang sering terjadi dalam UMPTN/SMPTN, memberi lilin atau pelumas kepada lembaran jawaban komputer atau menebarkan atom magnit dengan maksud agar mesin scanner komputer dapat terkecoh ketika membaca lembar jawaban sehingga gagal mendeteksi jawaban yang salah atau menganggap semua jawaban benar, dan banyak lagi cara-cara yang sifatnya spekulatif maupun rasional.
Dalam tingkatan yang lebih intelek, sering kita dengar plagiat karya ilmiah seperti dalam wujud membajak hasil penelitian orang lain, menyalin skripsi, tesis, ataupun desertasi orang lain dan mengajukannya dalam ujian sebagai karyanya sendiri.
Ternyata praktik “menyontek” banyak macamnya, dimulai dari bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang canggih. Teknik “menyontek” tampaknya mengikuti pula perkembangan teknologi, artinya semakin canggih teknologi yang dilibatkan dalam pendidikan semakin canggih pula bentuk ”menyontek” yang bakal menyertainya. Bervariasi dan beragamnya bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai “menyontek” maka sekilas dapat diduga bahwa hampir semua pelajar pernah melakukan ”menyontek” meskipun mungkin wujudnya sangat sederhana dan sudah dalam kategori yang dapat ditolerir.
Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa apapun bentuknya, dengan cara sederhana ataupun dengan cara yang canggih, dari sesuatu yang sangat tercela sampai kepada yang mungkin dapat ditolerir, ”menyontek” tetap dianggap oleh masyarakat umum sebagai perbuatan ketidakjujuran, perbuatan curang yang bertentangan dengan moral dan etika serta tercela untuk dilakukan oleh seseorang yang terpelajar.
Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan “menyontek” dalam tulisan ini adalah segala perbuatan atau trik-trik yang tidak jujur, perilaku tidak terpuji atau perbuatan curang yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik terutama yang terkait dengan evaluasi/ujian hasil belajar.




Faktor Penyebab “Menyontek”
Menurut Nugroho (2008), yang menjadi penyebab munculnya tindakan ”menyontek” bisa dipengaruhi beberapa hal. Baik yang sifatnya berasal dari dalam (internal) yakni diri sendiri maupun dari luar (eksternal) misalnya dari guru, orang tua maupun sistem pendidikan itu sendiri.
A.    Faktor dari dalam diri sendiri
1.      Kurangnya rasa percaya diri pelajar dalam mengerjakan soal. Biasanya disebabkan ketidaksiapan belajar baik persoalan malas dan kurangnya waktu belajar.
2.      Orientasi pelajar pada nilai bukan pada ilmu.
3.      Sudah menjadi kebiasaan dan merupakan bagian dari insting untuk bertahan.
4.      Merupakan bentuk pelarian/protes untuk mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan pelajaran yang disampaikan kurang dipahami atau tidak mengerti dan sehingga merasa tidak puas oleh penjelasan dari guru/dosen.
5.      Melihat beberapa mata pelajaran dengan kacamata yang kurang tepat, yakni merasa ada pelajaran yang penting dan tidak penting sehingga mempengaruhi keseriusan belajar.
6.      Terpengaruh oleh budaya instan yang mempengaruhi sehingga pelajar selalu mencari jalan keluar yang mudah dan cepat ketika menghadapi suatu persoalan termasuk test/ujian.
7.      Tidak ingin dianggap sok suci dan lemahnya tingkat keimanan.

B.     Faktor dari Guru
1.      Guru tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik sehingga yang terjadi tidak ada variasi dalam mengajar dan pada akhirnya murid menjadi malas belajar.
2.      Guru terlalu banyak melakukan kerja sampingan sehingga tidak ada kesempatan untuk membuat soal-soal yang variatif. Akibatnya soal yang diberikan antara satu kelas dengan kelas yang lain sama atau bahkan dari tahun ke tahun tidak mengalami variasi soal.
3.      Soal yang diberikan selalu berorientasi pada hafal mati dari text book.
4.      Tidak ada integritas dan keteladan dalam diri guru berkenaan dengan mudahnya soal diberikan kepada pelajar dengan imbalan sejumlah uang.

C.    Faktor dari Orang Tua
1.      Adanya hukuman yang berat jikalau anaknya tidak berprestasi.
2.      Ketidaktahuan orang tua dalam mengerti pribadi dan keunikan masing-masing dari anaknya, sehingga yang terjadi pemaksaan kehendak.

D.    Faktor dari Sistem Pendidikan
1.      Meskipun pemerintah terus memperbaharui sistem kurikulum yang ada, akan tetapi sistem pengajarannya tetap tidak berubah, misalnya tetap terjadi one way yakni dari guru untuk siswa.
2.      Muatan materi kurikulum yang ada seringkali masih tumpang tindih dari satu jenjang ke jenjang lainnya yang akhirnya menyebabkan pelajar/siswa menganggap rendah dan mudah setiap materi. Sehingga yang terjadi bukan semakin bisa melainkan pembodohan karena kebosanan.

Abdullah Alhadza dalam Admin (2004) mengutip pendapat Smith yang menemukan bahwa keputusan moral (moral decision) dan motivasi untuk berprestasi/ ketakutan untuk gagal menjadi alasan yang signifikan seseorang untuk melakukan ”menyontek”. Alhadza juga pernah melakukan penelitian dengan menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang mahasiswa di PPS UNJ. Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan menyontek dengan pengelompokan sebagai berikut.
  1. Karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan “menyontek” meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
  2. Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
  3. Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
  4. Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
  5. Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
  6. Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
  7. Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
  8. Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
  9. Merasa sudah sulit menghafal atau mengingat karena faktor usia, sementara soal yang dibuat penguji sangat menekankan kepada kemampuan mengingat.
  10. Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
  11. Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
  12. Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.
  13. Yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya sehingga bermaksud membalas dengan mengelabui dosen/guru yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar